Narwastu.id – Ternyata isu agama masih kerap dipakai sejumlah oknum untuk mengusik kedamaian masyarakat di negeri tercinta ini. Seperti peristiwa bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang beberapa waktu lalu terjadi di Tanah Karo dan Tanjung Balai, Sumatera Utara (Sumut). Daerah yang dihuni banyak suku Batak itu selama ini tak hanya dikenal daerah yang damai, tapi juga menjunjung nilai-nilai agama dan budaya. Jika itu dibiarkan, kata tokoh muda nasionalis, Budianto Tarigan, S.Sos., S.H., maka itu bisa menjalar ke daerah lain.
Menurut Budianto, salah satu ciri bangsa Indonesia adalah kemajemukan masyarakatnya, baik dalam ras, etnis dan agama. Sebetulnya keragaman tersebut mencerminkan kekayaan budaya bangsa. Namun, di sisi lain keragaman itu justru rentan diadu domba oleh sejumlah pihak yang tidak bertanggungjawab. Seperti kasus pelarangan penjualan daging Babi Panggang Karo (BPK) di warung-warung makan oleh sebuah ormas di Deli Serdang, Sumut.
Tak terkecuali kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai. “Sebetulnya persoalan itu sudah lama ada di struktur masyarakat kita. Ini, kan, letupan. Kalau dia orang Indonesia dan taat beragama sebetulnya itu tak terjadi. Jangan-jangan kita ini disusupi agenda dari luar, sehingga pertahanan bangsa ini keropos,” kata Budianto Tarigan yang juga Wakil Ketua DPP Persatuan Alumni GMNI kepada Majalah NARWASTU di kantor Pengurus Pusat Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) kawasan Cikini, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Dengan melihat permasalahan ini, menurut alumni Fakultas Komunikasi IISIP (Institut Ilmu Sosiual dan Ilmu Politik) Jakarta, ini seperti dikatakan oleh Bung Karno bahwa yang pertama dilakukan adalah membangun karakter bangsa. Pancasila bukan slogan, demikian juga Bhinneka Tunggal Ika. Melainkan jalan hidup sehari-hari bangsa ini.
“Indonesia, kan, terkenal dengan kearifan tradisi. Artinya, kearifan tradisi lebih ideologis dan sudah ada di sendi-sendi kehidupan bangsa. Namun sepertinya mulai tergerus oleh beberapa faktor eksternal, seperti lingkungan global, masalah perang asimetris, seperti perang budaya, perang ekonomi, perang sumber daya, mata uang dan lain sebagainya,” tukas mantan Sekjen HMKI (Himpunan Masyarakat Karo Indonesia) dan mantan aktivis GMNI yang vokal dan berani itu.
Menurut Budianto, saat ini selain negara harus kembali ke jatidiri bangsa, maka agar perpecahan dan kerusuhan tidak terulang, dibutuhkan toleransi antarumat beragama yang bukan sekadar jargon. “Melainkan dilakukan secara nyata,” papar lulusan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia yang pernah mengikuti seleksi Calon Wakil Gubernur Sumut di PDI Perjuangan itu. Bagi Budianto, kerusuhan bernuansa agama itu menegaskan ada sendi-sendi pertahanan dan ideologi bangsa yang mulai jauh dari Pancasila.
Tak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan pembangunan di sebuah negara salah satunya tergantung dari stabilitas dari negara itu. Kerusuhan demi kerusuhan di sejumlah daerah yang terjadi, katanya, bukan hal baru. Tapi jika hal itu dibiarkan terjadi, maka taruhannya adalah kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan terpuruk. Kini Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo sedang bekerja keras membenahi infrastruktur.
“Saya melihat Pak Jokowi masih prorakyat. Salah satu pesan penting beliau saat silaturahmi nasional yang digelar beberapa waktu lalu, yaitu soal kondisi perekonomian dunia dan kebijakan Tax Amnesty. Jadi saya tetap percaya bahwa beliau sedang mencoba untuk menguraikan masalah melalui kinerja. Beliau tidak mungkin mengkhianati Nawacita atau Trisakti. Kalau beliau melakukan kebijakan dan tidak sempurna adalah wajar, sebab dalam situasi dan kondisi seperti ini tidak mungkin semua pihak dipuaskan,” ujar pria yang tak pernah lelah memikirkan persoalan masyarakat dan bangsa ini.
Sebagai salah satu orang yang tergabung di tim sukses pemenangan Jokowi di Pilpres 2014 lalu, Budianto Tarigan yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP Projo, bukan berarti bersama teman-teman sejawatnya menutup mata atas kinerja Jokowi. Anggota jemaat Gereja Katolik St. Maria Regina, Bintaro, Jakarta Selatan, ini tetap setia mengawal pemerintahan Jokowi. Dan mereka tetap mengkritisi kebijakan yang tidak prorakyat.
“Seperti Tax Amnesty, itu harus sukses. Beliau butuh orang yang tepat sesuai dengan target yang ada. Kami melihat Dr. Sri Mulyani sudah tepat posisinya sebagai Menteri Keuangan RI. Beliau punya jaringan kuat. Jadi kebijakan pemerintah harus berlandaskan pada kepentingan nasional, dan bukan kepentingan asing,” tegas suami tercinta Linda Purnama Sari Sembiring ini. Budianto semasa mahasiswa pernah dipercaya sebagai Ketua GMNI Cabang Jakarta Raya (1992-1994) dan Ketua GMNI Komisariat IISIP Jakarta.
Budianto dan teman-temannya di DPP Projo yang juga bagian dari rakyat Indonesia tetap menaruh kepercayaan terhadap Presiden Jokowi dan JK. Jokowi, ujarnya, adalah figur pemimpin yang lahir dari rahim rakyat, serta tidak punya kepentingan apa-apa. Terlebih dia tak memiliki “dosa” di masa lalu terhadap bangsa ini. Dan itu memudahkannya untuk melangkah tanpa beban.
Dengan demikian, Budianto yang merupakan putra Karo, Sumut, berharap agar rakyat Indonesia memberikan kesempatan kepada Presiden Jokowi untuk membuktikan kinerjanya. Ia pemimpin yang mampu meramu kebijakan dan eksekusi dalam sikon yang sangat krisis. Terlebih lagi, ia melihat bahwa Jokowi orang sederhana, jujur dan merakyat. “Jika kinerjanya semakin bagus dan baik, maka bisa kembali Jokowi terpilih di Pilpres 2019 mendatang,” paparnya.