Narwastu.id – Wabah virus Covid-19 telah menjadi pandemi dan menjadi persoalan besar dunia saat ini. Penyebarannya begitu cepat dan menjadi musuh mematikan yang tidak terlihat. Korban jiwa berjatuhan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Semua orang dilanda kepanikan dan ketakutan. Virus yang berawal dari Kota Wuhan, Tiongkok, ini menyerang siapa saja. Tidak memandang usia, jenis kelamin, status sosial, bahkan agama. Siapa saja bisa terjangkit, siapa saja bisa menjadi korban.
Pemerintah Jokowi telah mengambil langkah-langkah untuk menahan laju perkembangan wabah virus tersebut, salah satunya dengan mengajak setiap warga negara untuk kerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah. Poin belajar dari rumah dengan sigap telah dilakukan melalui langkah pemerintah meliburkan sekolah-sekolah, mulai TK sampai perguruan tinggi. Poin kerja dari rumah, walapun tidak dapat dilakukan secara maksimal mengingat ada bidang-bidang pekerjaan yang tidak semuanya bisa dilakukan di rumah, sudah juga terlihat dipatuhi oleh kantor-kantor pemerintah dan perusahaan swasta.
Bagaimana kita anak-anak Tuhan menyikapi poin ajakan pemerintah untuk beribadah di rumah di saat-saat ini? Beberapa sinode gereja telah mengeluarkan imbauan kepada jemaatnya untuk mematuhi ajakan Pemerintah ini dengan melakukan ibadah live streaming misalnya. Namun ada juga gereja yang beranggapan bahwa dengan melakukan ajakan pemerintah untuk tidak beribadah di gereja, kita justru menyangsikan penyertaan dan kuasa Tuhan. Benarkah seperti itu?
Saya tidak menyangsikan keimanan seorang hamba Tuhan yang punya nama besar yang dengan lantang mengatakan bahwa gereja-gereja yang meliburkan jemaatnya untuk datang beribadah ke gereja membuat Tuhan seolah-olah kalah dengan virus. Bahkan beliau juga tidak setuju jika di gereja pendeta tidak diperbolehkan berjabat tangan dengan jemaatnya. Jujur sekali lagi, saya tidak menyangsikan keimanan hamba Tuhan ini. Tapi yang saya sangsikan adalah kecerdasannya.
Dalam salah satu poin imbauannya kepada seluruh warga gereja, MPH Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI) menegaskan bahwa sebagai persekutuan orang percaya, di satu sisi kita terpanggil untuk memperbanyak dan mempersering perjumpaan antarmanusia, termasuk persekutuan ibadah, di rumah dan di gereja. Namun di sisi lain, kita juga memiliki tanggung jawab untuk menghentikan penyebaran Covid-19.
Suatu penekanan yang jelas dan membumi bahwa kita ini bukan hanya warga gereja, tapi juga makhluk sosial, warga negara yang tidak terlepas dari kehidupan sosial di sekitar kita. Imbauan untuk kita beribadah di rumah adalah imbauan dari Pemerintah. Hamba Tuhan tersebut perlu secara sadar juga menerima bahwa pemerintah adalah juga berasal dari Allah. Kita diminta taat kepada pemerintah kita karena mereka ditetapkan oleh Allah (Roma 13:1-4).
Apa yang salah saat Pemerintahan Jokowi mengimbau rakyatnya untuk beribadah sementara waktu di rumah agar dapat memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19 tersebut? Di poin ini saya sangat setuju saat seorang hamba Tuhan yang lain mengatakan bahwa ini bukan berbicara soal iman, tapi lebih tentang kepatuhan kepada pemerintah. Kepatuhan tentang kebijaksanaan pemerintah agar rakyat untuk sementara waktu menjaga jarak dengan orang lain (social distancing) agar tidak tertular atau menularkan.
Saat ini penyebaran virus Covid-19 sangatlah massif. Dalam masa inkubasinya selama 14 hari, setiap orang bisa saja menularkan atau tertularkan. Karena masing-masing kita dalam masa itu tidak merasakan sakit apapun dan tidak mengetahui bahwa mungkin sebenarnya kita telah tertular oleh orang lain atau menularkan kepada orang lain. Saat kapan itu? Saat kita berada dalam jarak dekat dengan orang lain, dalam kerumunan, di tempat keramaian. Saat kita berada di dalam alat transportasi umum, di pasar, sekolah, kantor, bahkan di tempat ibadah. Oleh karena itu, kita oleh pemerintah diminta untuk berdiam diri di rumah. Belajar, bekerja, dan beribadah di rumah. Keputusan yang bijaksana dan tidak membelah iman kita sedikitpun.
Sekretaris Umum PGI, Pdt. Jacky Manuputty di akun Facebooknya menulis, “Allah memberikan iman dan akal budi untuk digunakan beriring. Jangan ambil iman, sementara akal budi disampahin. Pakailah keduanya dengan tetap terarah kepada Kristus.” Hamba Tuhan besar itu seharusnya juga memahami akan hal ini. Juga memahami tulisan seorang hamba Tuhan menyikapi imbauan beribadah di rumah, “Gereja boleh ditutup, jemaat dirumahkan, misa batal, jalan salib distop, Paskah tak pasti…Corona mengajari kita bahwa Tuhan itu bukan (melulu) pada keramaian, Tuhan itu bukan (melulu) pada ritual. Tuhan ada pada jalan keputusasaanmu dengan dunia yang berpenyakit. Corona memurnikan agama, bahwa tak ada yang boleh tersisa, kecuali Tuhan itu sendiri. Datang, temui dalam doa dan kenali Dia melalui perkataanNya di saat yang teduh.”
Saya pribadi bersyukur bahwa pada saat seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah, kami memiliki waktu yang lebih leluasa untuk berdoa bersama, terkhusus berdoa bagi kondisi darurat yang terjadi saat ini. Waktu yang mungkin tidak kita miliki saat setiap anggota keluarga sibuk dengan pendidikan dan pekerjaan mereka masing-masing setiap hari. Mendukung imbauan MPH-PGI bahwa masa-masa berdiam di rumah seperti sekarang ini adalah momen yang sangat baik bagi kita untuk bersekutu dalam bentuk bincang bersama, bersenda-gurau bersama dan berdoa bersama seluruh anggota keluarga kita masing-masing. Ini momen berharga bagi kita semua untuk menikmati saat-saat bersama keluarga, yang akhir-akhir ini makin langka oleh rupa-rupa sebab.
Dalam doa bersama, kami berdoa bukan saja untuk pergumulan keluarga kami, tapi juga bagi setiap orang yang sudah terjangkit virus ini, bagi pemerintah yang bekerja keras siang malam menghadapi kondisi darutat ini, sama seperti kerja keras para dokter, perawat dan semua petugas di rumah-rumah sakit, dan tak lupa juga bagi hamba Tuhan besar itu agar tidak sombong rohani. Mari kita tidak fokus kepada berita-berita yang beredar, seakan semuanya tampak di luar kendali. Tapi lewat kesempatan kita dapat bersekutu, berdoa dan membaca Alkitab bersama keluarga di rumah, kita dapat mengimani bahwa segala sesuatunya ada dalam kendali Allah.
* Penulis adalah alumni IISIP Jakarta, profesional, pemerhati masalah gereja dan masyarakat dan kolomnis Majalah NARWASTU.