21 Tokoh Kristiani 2018 Pilihan NARWASTU

* Oleh: Ir. Jannerson Girsang (alm.)

113

Narwastu.id – Akhir November 2018 lalu, saat mendampingi cucu-cucu yang sedang menikmati hembusan angin sepoi kota Bogor, Jawa Barat, saya menerima pesan WA (WhatsApp) dari seseorang. “Abang masuk dalam 21 Tokoh Kristiani 2018,” katanya.  Orang yang mengirim pesan WA itu adalah seorang laki-laki bernama Jonro I. Munthe, S.Sos, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah NARWASTU. Selama ini, saya belum pernah bertatap muka, hanya berhubungan di WA atau Facebook.

Saya sungguh kaget. Saya bertanya, “Apa dasar memilihnya?” Saya bukan tokoh organisasi, bukan orang berpengaruh, bukan penulis terkenal, hanya dikenal kelompok terbatas sebagai  penulis buku biografi dan otobiografi. Tidak pernah dalam mimpi saya masuk dihargai seperti itu. Namun, entah itu penghargaan  yang sempurna atau tidak, saya hanya mampu mengucap syukur. Saya menghargai usaha, hasil kerja keras Tim NARWASTU yang tulus.

Menyuarakan Kabar Baik

“Artikel-artikel abang selama ini di Facebook cukup menginspirasi,” katanya. Puji Tuhan!  Niat saya menulis di Facebook setiap hari hanyalah “Menyuarakan Kabar Baik”, berbagi  suka cita dengan pembaca, meski tidak pernah ada yang membayar, dan sama sekali tidak  pernah berniat untuk dihargai. Kalaupun itu dihargai, bukanlah agar saya menjadi orang besar  atau terkenal. Penghargaan ini saya maknai sebagai sebuah usaha memberi apresiasi bagi usaha-usaha berbagi kebaikan, menuliskan berita-berita suka cita kepada sesama melalui tulisan  sederhana. Pembaca Facebook saya adalah semua kalangan, kaya, miskin, pejabat, jenderal  dan hingga orang-orang desa dari berbagai kalangan, berbagai agama dan suku.

Pernghargaan ini bukan membuat hanya saya sendiri yang suka cita. Cucu, putri menantu,  menyambut penghargaan itu dengan suka cita. Sebuah artikel dari Prof. Dr. Albiner Siagian,  guru besar USU Medan muncul di harian Analisa dengan judul “Tokoh yang Berinisial JG Itu.” Anak-anak yang lain, teman-teman yang lain juga menyambut penghargaan itu dengan suara positif. Sejak 2009, saya sudah menulis di Facebook, meski tidak rutin. Sejak 2010, sejak adik saya meninggal, setelah lebih dulu empat tahun ditinggal istrinya, dengan tiga anak perempuan yang masih kecil-kecil, saya semakin rajin menuliskan ungkapan hati di Facebook.

Saya memposting tulisan-tulisan sebagai wujud kasih kepada sesama manusia dengan  landasan Matius 7:12. “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang berbuat kepadamu,  perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan Hukum Para  Nabi.” Akun Facebook menjadi tempat saya mencurahkan isi hati saya kepada Tuhan dan  kepada sesama. Saya tidak begitu terpengaruh dengan panasnya suasana politik di Indonesia sejak 2009. Saya berbicara melalui tulisan kepada semua pemeluk agama, semua suku yang berbeda, tanpa mendapat respon negatif. Umumnya mereka menilai suara itu istimewa, “melembutkan hati.”

“Kalau masuk ke FB Bapak, nyaman rasanya,” begitu komentar seseorang yang berbeda  agama dengan saya.

Itulah berita suka cita menurut saya. Berita yang membawa orang berfikir positif dengan  kesadarannya sendiri. Bukan berita yang membuat panas kuping orang yang membacanya,  dan membuat mereka tidak bisa nyenyak tidurnya. Selama belasan tahun, hampir setiap hari umat Kristen dan umat lainnya yang membaca  tulisan-tulisan itu menyambut suara saya itu dengan positif, meski saya jelas-jelas  menunjukkan identitas saya sebagai Kristen. Orang Kristen tidak dilarang mengeluarkan  suara Kristen sejauh tidak menghakimi iman orang lain, tidak merasa diri paling benar.

Sebuah acara pemberian penghargaan oleh Majalah NARWASTU kepada sejumlah tokoh Kristiani di Jakarta.

Saya berharap, penghargaan ini memotivasi saya untuk terus mengajak orang Kristen dan  warga lainnya untuk hidup saling menghargai, yang ditunjukkan dalam tindakan, ucapan, terlebih-lebih dalam tulisan di dunia maya, di tengah-tengah bangsa yang berdasar Pancasila sedang menghadapi banyaknya berita hoax, ujaran kebencian, fitnah yang justru mengundang perpecahan bangsa.

“Menyuarakan Kabar Baik” sebagaimana motto Majalah NARWASTU, adalah visi saya  sejak dulu menulis. Tuhan Yesus sendiri, seperti yang tertulis dalam Matius 7:12 mengajarkan kita untuk memperlakukan manusia lain, seperti kita menginginkan orang lain memperlakukan kita. Manusia tidak mau dilecehkan, direndahkan, mereka mau dihargai.  Sekecil apapun penghargaan ini, kiranya didasari oleh ayat itu.

Jonro I. Munthe dan NARWASTU

Sekali lagi sejujurnya, saya mengenal Jonro I. Munthe dan NARWASTU baru sekitar dua tahun  belakangan ini. Saya membaca majalah ini setiap terbitan yang dikirim langsung ke rumah saya di Medan. Kesan saya, pemimpin majalahnya adalah seorang yang menghargai nilai. Hampir setiap artikel saya di Facebook, mendapat respons dari Bapak Jonro Munthe. Berbagai komentar beliau yang memberi apresiasi dan menambah semangat saya menulis.

Saya membaca berbagai referensi tentang beliau. Seperti saya sebutkan di depan, saya belum pernah bertatap muka dengan beliau. Saya mengenalnya dari tulisan-tulisannya, dari track record-nya di berbagai media massa. Kesimpulan saya, beliau adalah orang muda yang cerdas, kreatif,  rajin, konsisten dengan visinya mencerdaskan umat Kristen. Konsistensinya menganugerahkan penghargaan atas tokoh-tokoh Kristen yang konsisten merupakan bukti karakter yang saya lukiskan di atas. Saya percaya, tugas ini tidak mudah.

Seseorang melakukan tugas seperti ini membutuhkan ketulusan, kejujuran dan keberanian.  Tidak ada manusia yang sempurna. Kita tidak membutuhkan orang yang merasa dirinya  sempurna. Sebaliknya, kita membutuhkan orang-orang yang jujur dan berani, dan senantiasa terbuka memperbaiki kekurangan-kekurangan. Karakter seperti itu ada dalam diri seorang  Jonro Munthe melalui Majalah NARWASTU. Penilaian ini saya kira tidak berlebihan.

Dalam dua tahun saya mengikuti majalah ini, dengan keterbatasan yang saya miliki, saya  dibantu untuk memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi orang Kristen di Indonesia, mengenal para tokoh-tokoh nasional Kristen, serta menambah wawasan saya melalui aktivitas dan tulisan-tulisan mereka.

NARWASTU: Kacamata Baru

Suara Kristen itu seperti apa? Saling menyalahkan, mencari-cari kelemahan di dalam gereja,  di dalam diri seseorang? Hendaknya suara Kristen yang dibawakan NARWASTU adalah kabar baik, berita suka cita.  Berita yang mampu membuat pembacanya berubah, bukan hanya kulit luarnya, seperti ular  yang tukar kulit tapi masih berbisa, tetapi tukar kulit dan hati yang mampu bersyukur atas  hidupnya, sehingga mereka mampu membagi suka cita bagi sesamanya.

NARWASTU pembawa suara Kristen memberi kita kacamata baru dalam memandang  sesuatu. Kaca mata yang mampu memandang perbedaan, keragaman sebagai berkat, meninggalkan karakter merasa benar sendiri, saling menyalahkan, menjadi orang-orang yang  kritis, kreatif penuh harapan, sabar, dan bertanggungjawab.  Semoga Majalah NARWASTU menjadi wadah orang-orang Kristen menuangkan kabar baik,  berita suka cita. Terakhir saya mengucapka terima kasih atas penghargaan menjadi 21 Tokoh Kristen 2018. Tidak ada manusia yang sempurna, dan tidak ada penilaian yang sempurna dari seorang manusia. Biarlah penilaian yang sempurna itu datang dari Dia, Tuhan Yesus Kristus kita, tokoh yang sempurna.

 

  • Penulis adalah seorang penulis buku-buku biografi/otobiografi, penulis di media sosial (Facebook), mantan aktivis di GKPS dan mantan rektor di sebuah perguruan tinggi swasta di Sumatera Utara, tinggal di Medan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here