Kahlil Gibran, sastrawan Kristen menulis: Kelahiran seorang putra di tengah keluarga, adalah anugerah tak terhingga dari yang empunya Hidup. Kehadirannya, ibarat mendapatkan “sebongkah batu berlian.” Renung mutiara Gibran ini, sangat dalam maknanya. Satu sisi, ada nuansa suka cita atas kelahiran seorang putra, tetapi pada sisi lain, ada tugas yang tidak dapat dikesampingkan, yaitu mengasah dan menggosok batu berlian itu agar keluar cahaya kemilau yang menyinarkan keindahan dan keagungan dari sebongkah batu itu.
Tanggal 6 September 1977, hati kami sekeluarga, sangat berbahagia, karena mendapat anugerah yang tak terhingga, menerima “sebongkah batu berlian” dari Tuhan. Seorang anak laki-laki, lahir dan hadir di tengah keluarga. Sebagaimana orang tua lainnya, tentu kami menaruh harap mulia kepadanya, itulah sebabnya kuberi dia nama Todo, artinya: Yang kupilih dari lubuk hati terdalam, Batara: adalah sebongkah harapan, agar kelak anak ini menjadi tiang yang kokoh bagi dirinya, bagi keluarganya, bagi tugas dan tanggung jawabnya, bagi negara dan bangsa.
Masa-masa mengasah dan menggosok batu ini dimulai ketika selepas SMA, Todo bekerja di Kejaksaan. Ketika teman sebayanya masih bisa menikmati masa-masa sekolah, anak ini sudah harus belajar tentang tanggung jawab, mulai dari golongan IIA, kemudian naik golongan IIB, sambil kuliah S1, hingga sekarang IIID, mengabdi sebagai PNS di Kejagung RI, lalu ke Sumut, Kalteng, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah (Kasipidum Kejari Tegal). Di dalam pelaksanaan tugas tentu ada kekurangannya. Alangkah bahagianya hati kami, ketika dia dapat mempersunting seorang yang sama bekerja di Kejaksaan, Mutiara Helena boru Butarbutar, Golongan IIIC, sehingga dapat bahu-membahu dan saling melengkapi satu sama lain sebagai insan yang dipersatukan sendiri oleh Tuhan.
Kemudian lahirlah cucu laki-laki dan diberi nama Canna Timothy, yang dulu dipanggil Papa Todo, sekarang dipanggil Ompung (Kakek) Canna. Puji Tuhan atas segala kasih dan kemurahanNya. Todo belumlah kelihatan seperti batu berkilau. Asahan dan gosokan masih perlu dilanjutkan terus menerus tak pernah mengenal kata usai. Itu tak gampang. Memerlukan semangat, kerja keras dan selalu tengadah kepadaNya, agar diberi kekuatan dan kemampuan untuk dapat melaksanakannya.
Dalam Alkitab, ada seorang tokoh muda yang barangkali bisa dijadikan teladan, bagaimana gigihnya pemuda ini, berangkat dari bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang bernilai, yang bahkan ayat Alkitab menyebutkannya. Itulah Yabes (1 Tawarikh 4:9-10). Menilik sejarah kelahiran anak muda ini, terasa aneh dan janggal. Alkitab tidak merinci, siapa ayah ibunya dan dari mana asal leluhurnya. Alkitab hanya menulis dalam dua ayat saja, seakan-akan anak muda ini muncul dari dunia antah berantah. Namanyapun maknanya tidak lazim. Biasanya, orang tua memberi nama kepada anaknya adalah mengandung makna harapan yang indah-indah. Tetapi orangtuanya memberi nama kepadanya “YABES”, yang artinya kesakitan. Karena ketika dilahirkan, ibunya menderita kesakitan.
Namun, berangkat dari “kesakitan” dan penderitaan itu, namanya disebut dalam silsilah keturunan Yehuda yang kelak melahirkan Tuhan Yesus. Yabes tidak berhenti pada penyesalan atas penderitaannya. Ia bukanlah pemuda pesimis, tetapi selalu opitimis dalam memperjuangkan kehidupannya. Mengapa Allah mengabulkan permintaan Yabes? Pertama, karena Allah melihat kesungguhan dan ketulusan motivasinya. Ia adalah pekerja keras dan bertanggung jawab atas pekerjaannya untuk memperluas daerahnya.
Kedua, Yabes tidak surut dan gentar dengan tantangan yang mengadang dengan keyakinan, bahwa Allah akan memampukan dirinya menghadapi persoalan dan masalah. Ketiga, Yabes, tidak ingin surut ke belakang dan jatuh lagi ke penderitaan. Setiap langkah yang hendak diayunkan, ia berhati-hati, teliti dan bijak, sehingga tidak menginjak sesuatu yang memungkinkan ia jatuh terpeleset dan menyeretnya kembali ke lubang penderitaan.
Ada beberapa contoh dari beberapa tokoh demikian: Abraham Lincoln berkata, “Jika saya memiliki 8 jam untuk menebang sebatang pohon, saya akan menghabiskan 6 jam pertamanya untuk mengasah kapak saya.” Kita mempersiapkan diri untuk berkarier dengan cara menempuh pendidikan. Pak Sadi dari Lamongan, pernah memikul rombong keluar masuk kampung menjual tahu tektek. Ia bekerja keras tanpa mengenal lelah, hingga suatu saat ia melihat peluang untuk menjual soto ayam di pingggiran jalan Ambengan, Surabaya. Dengan susah payah ia menjaga rasa dan mutu sotonya, agar digemari pelanggannya. Upaya dan usahanya tidak sia-sia. Kini dagangan sotonya telah menghantarkannya menjadi seorang pengusaha yang kokoh.
Selama mengabdi pada negara selama 19 tahun dan bersyukur pada Tuhan atas dianugerahkannya oleh Presiden RI, Piagam Tanda Kehormatan Satya Lencana Karya Satya 10 tahun untuk Todo sesuai dengan Keppres RI No 024/2007 tanggal 7 Juni 2007. Juga alangkah bahagianya kami untuk anak perempuan, Letare Magdalena, S.E., bekerja di Badan Pertanahan Nasional RI golongan IIIC berkeluarga dengan jaksa Antony Nainggolan, S.H., golongan IVA bertugas di Bangka, Jawa Barat, DKI Jakarta, Maluku Utara, Sumatera Utara dan Kejaksaan Agung (Satgasus Pidsus).
Mereka dikaruniai anak perempuan, Alena, dan dua anak laki-laki, Diaz dan Kenzo. Juga anak bungsu, Ishak Tongam S.T., lulusan Fakultas Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya yang diterima dari jalur siswa berprestasi. Saat mahasiswa merangkap sebagai penyiar radio 101.3FM MFM Malang, juga menjalankan bisnis di Betek, Malang. Saat ini bekerja sebagai penyiar di Motion 975 FM Jakarta dan berkeluarga dengan Audy Grace van Munster, Sarjana Keperawatan dari Pelita Harapan, perawat di Rumah Sakit Siloam Lippo Village, yang di karuniai seorang anak perempuan, Aurora Griselda. Tetapi ingatlah, semua yang dicapai masih jauh dari langkah hidup yang harus ditempuh. Jangan berpuas diri. Satu hal yang harus selalu diingat: asah dan teruslah gosok batumu dengan sikap, seperti Pak Sadi sehingga mencapai tataran yang lebih tinggi.
Dan yang tak boleh dilupakan, Alkitab menyatakan bahwa kalian juga harus menyiapkan diri secara rohani, melakukannya dengan mengenakan seluruh perlengkapan senjata Allah untuk melindungi diri dalam peperangan rohani (Ef. 6:10-20); menyiapkan akal budi untuk hidup kudus (1 Ptr. 1:13); memastikan bahwa selalu siap untuk memberikan alasan bagi pengharapan yang kalian miliki (1 Ptr. 3:15). Doa kami para orang tua, kiranya kasih Tuhan selalu memberkati kalian sekeluarga.
* Penulis adalah pensiunan Jaksa Utama Golongan IVE Kejagung RI, mantan Inspektur Polisi Golongan IIIB Polda Metro, mantan Asisten Golongan IIIA FH & IPK UI. Juga Penatua GMIT (1988) di Larantuka, Flores Timur dan anggota jemaat HKBP Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.