Tahun Politik 2018-2019

48
Jonro I. Munthe, S.Sos (Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah NARWASTU)

Narwastu.id – Kalau kita jeli mencermati pemberitaan di media massa dan televisi saat ini, ada harapan plus tantangan serta kekhawatiran yang terasa di tengah bangsa ini. Disebut ada harapan, karena Presiden RI Jokowi terus berupaya keras untuk membangun infrastruktur di negeri ini agar lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, dan ternyata pembangunan itu sangat membantu perekonomian rakyat. Disebut tantangan dan kekhawatiran, karena tahun 2018-2019 bangsa ini akan menggelar Pilkada Serentak, Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pilpres 2019. Di event politik inilah kembali rakyat akan memilih kepala daerah, wakil rakyat plus Presiden-Wapres RI.

Tentu kita mendambakan agar yang terpilih nanti adalah kepala daerah, wakil rakyat dan Presiden-Wapres RI yang berjiwa Pancasilais, mau berkorban untuk negeri ini, punya integritas dan mampu memimpin. Lantaran itulah, dari sekarang kita lihat banyak organisasi keagamaan dan ormas yang mengimbau agar Pilkada Serentak 2018, Pileg dan Pilpres 2019 bisa berjalan damai dan aman, serta rakyat diimbau agar terus memanjatkan doa supaya perhelatan itu menghasilkan sesuatu yang menggembirakan bagi negeri ini.

Seperti diungkapkan tokoh Kristiani pilihan NARWASTU yang juga praktisi hukum dan Ketua III PGLII, Y. Deddy A. Madong, S.H., M.A., memasuki tahun 2018 yang sering disebut tahun politik, karena ada Pilkada Serentak di 100 daerah dan 17 provinsi, kita harus tetap waspada. Hal ini membuat situasi politik sangat berpengaruh kepada kehidupan sosial dan ekonomi di negara ini. Karena itu, memasuki tahun 2018 kita perlu mencermati dari berbagai sisi.

Pertama, dengan situasi politik yang semakin memanas dari hari ke hari, maka akan terlihat berbagai kepentingan dan cara yang digunakan dalam rangka Pilkada 2018 seperti ketika pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Terlihat bagaimana politisasi agama dimainkan. Maka sangat mungkin isu-isu pribumi dan nonpribumi, isu PKI, isu-isu SARA, Perpu Ormas, dan sebagainya bakal diangkat. Kedua, persoalan penegakan hukum yang masih menjadi “pekerjaan rumah” hingga kini. Bagaimana hukum masih tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Kemudian kasus ujaran-ujaran kebencian bernuansa SARA, dan pemberantasan korupsi. Pemerintah perlu kerja keras untuk memberantas korupsi yang seakan-akan telah menjadi budaya di tengah bangsa ini.

“Para ahli ekonomi, bahkan Menteri Keuangan kita memprediksi adanya siklus krisis ekonomi 10 tahunan. Dulu 2008, sekarang tahun 2018, belum lagi pilkada dan pilpres membuat selera orang untuk investasi dan membangun menurun. Akibatnya kondisi ekonomi bangsa menjadi lesu, tapi dalam segala hal ini tentu kita sudah belajar menghadapi krisis ekonomi,” jelasnya.

Sebab itu, kata Sekjen ELHAM dan pengurus DPN PERADI ini, dalam menghadapi situasi kondisi bangsa yang tidak mudah, “Saya mendorong gereja-gereja di Indonesia untuk memperlengkapi umat di dalam menghadapi kondisi tahun ke depan yang cenderung sukar. Sehingga umat dapat tetap kuat, tahan uji (resilient) dan tidak mudah tergoncang (unshakable). Kuncinya gereja harus membawa umat agar terus bergantung kepada Tuhan, tidak terbawa arus. Sebagai contoh, gereja ikut-ikutan berpolitik, dukung mendukung di pilkada dan pilpres. Sehingga menyebabkan umat menjadi bingung dan terpecah-belah.”

Gereja, kata Deddy, seharusnya menjadi jawaban, bukan menjadi trouble maker, tapi menjadi peace maker. “Jangan sampai di tengah suhu politik yang panas ini, kita sebagai pemimpin atau warga gereja terpengaruh. Gereja seharusnya tidak bisa didikte oleh keadaan, tapi justru mempengaruhi keadaan dengan menebar kesejukan dan kedamaian,” pungkasnya. Dan gereja, imbuhnya, harus ikut berperan aktif dalam perjalanan bangsa ini dengan memberi masukan-masukan kepada Pemerintah. Supaya Pemerintah lebih proaktif melakukan apa yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya agar negara ini berjalan dengan baik. Dengan harapan cita-cita mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera itu dapat terwujud.

Teolog senior dan mantan Rektor STT Jaffary, Jakarta, Pdt. Dr. Jerry Rumahlatu pun berpendapat, memasuki 2018 yang disebut sebagai tahun politik, warga gereja perlu dipersiapkan melalui pendidikan politik agar dapat membaca peta politik di Tanah Air. “Jemaat harus dibekali, sehingga ketika mereka berada di mana saja sudah tahu situasi dan kondisi. Dan itu harus dari orang atau jemaat yang paham politik. Mereka bisa dipakai untuk memberikan pencerahan kepada pemuda dan orangtua,” jelas pria yang juga dosen di berbagai sekolah tinggi teologi ini.

Selain politik, tantangan yang bakal dihadapi di tahun 2018, menurut Pdt. Jerry, yaitu kemajuan IT, penegakan hukum, kebebasan beragama, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Semua ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Pemerintah yang perlu mendapat perhatian serius. Isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) bakal lebih dahsyat lagi, karena digunakan dalam rangka Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019. Sebab itu, Jerry mengingatkan, warga gereja agar sadar politik dan mau berbaur dengan masyarakat sekitar. Dan juga harus ikut perkembangan zaman. Meski demikian, lanjutnya, di tengah situasi dan kondisi apapun di tahun 2018, warga gereja tetap harus bekerja keras dan berpikir cerdas.

“Jangan lupa berdoa, tapi jangan lupa kerja atau Ora Et Labora. Kita harus tulus, seperti merpati, cerdik seperti ular. Kita harus ingat kedaulatan Allah terhadap apa yang akan terjadi ke depan, dan kita harus berdiri teguh tanpa harus berkompromi dengan apapun juga,” tandasnya. Menyimak pendapat kedua tokoh gereja ini, sekali lagi, kita sebagai warga gereja dan warga bangsa ini harus proaktif mencermati keadaan negeri ini, serta terus menjaga kedamaian dan ketenangan serta tekun memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Rahmat.

· Penulis adalah Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah NARWASTU.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here